Bag. 3 (Habis)
Oleh : HG Sutan Adil
Dalam masa kolonial Jepang, Mahmud Marzuki adalah salah satu tokoh yang paling dicari. Jiwa nasionalismenya yang tinggi dan sangat memberikan semangat ke rakyat, dianggap ancaman bagi Jepang. Bentrokan pun pernah terjadi pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Akibat dari hilangnya bendera merah putih yang dikibarkan di Lapangan Controlleur, Mahmud Marzuki dan kelompoknya mastikan itu tentara Jepang yg melakukannya, untuk itu mereka mencegat bala tentara Jepang yang akan masuk ke kota Bangkinang, dari Pekanbaru. Di tengah jalan, mobil serdadu Jepang dihadang para pemuda. Di saat itu 7 tentara Jepang dibunuh, kecuali Kepala Polisi Jepang di Bangkinang, Yamamoto.
Di perbatasan Kampar dengan Sumatera Barat di Rantau Berangin juga ada tiga orang Jepang juga dibunuh. Peristiwa ini sering disebut sebagai “Insiden Durian”, karena saat itu tentara jepang disergap oleh tentara rakyat/Hisbullah ketika sedang makan durian di Danau Bingkuang dan dengan peristiwa inilah tentara jepang sangat marah sekali.
Berdasarkan literasi yang didapat dari buku ‘Biografi Calon Pahlawan Nasional Mahmud Marzuki Sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia” yang ditulis oleh pakar sejarah Profesor Suwardi MS. Dkk, Yamamoto ini akhirnya meminta bantuan tentara Jepang dari Pekanbaru. Kala itu 1.600 tentang Jepang datang ke Kampar.
Jepang menuduh Mahmud Marzuki sebagai dalang karena begitu getolnya menyuarakan pengusiran kolonial dan sebagai aktor pengibaran bendera di lapangan Controlleur di depan Kantor Demang Bangkinang, sebagaimana di ceritakan pada tulisan sebelumnya.
Saat Jepang datang ke Bangkinang untuk menangkapnya, Mahmud Marzuki sedang mengadakan rapat Komite Nasional Indonesia dan lokasi rapat sudah dikepung. Saat itu tentara Jepang membuat sandera dari masyarakat sekitar agar Mahmud Marzuki menyerah. Agar tidak membuat suasana kacau dan demi melindungi masyarakat banyak, Mahmud Marzuki dan peserta rapat lainnya menyerahkan diri dan selanjutnya 13 orang peserta rapat itu ditangkap termasuk Marzuki dan selanjutnya Mereka dibawa ke Pekanbaru.
Dari beberapa info dan literasi umum yang didapat, didalam tahanan, Marzuki dan kawan kawannya disiksa. Mereka dipukuli dengan berbagai macam siksaan yang keji. Selama seminggu, para tahanan ini kakinya diikat dan digantung dengan posisi kepala di bawah.
“Mulut mereka dituangi busa sabun. Badannya dipukuli dengan kayu-kayu berduri. Mereka tidak diberikan makan,” kata pakar sejarah Riau, Prof Suwardi kepada detikcom, Minggu (19/8/2018).
Mahmud Marzuki ditahan selama 21 hari, rekan lainnya M Amin ditahan 51 hari. Selebihnya hanya ditahan beberapa hari saja. Marzuki dan M Amin lama ditahan karena dianggap pentolan penggerak untuk melakukan perlawanan kepada Jepang.
“Selama mereka ditahan, rakyat kehilangan pedoman dari pemimpinnya dan setelah mereka dipulangkan kembali, rakyat kembali bersemangat. Dibuat acara penyambutan dengan memotong 200 ekor kambing dan 20 ekor kerbau,” kata Prof. Suwardi.
Keluar dari tahanan Jepang, Marzuki masih tetap berdakwah ke sana kemari sembari menggelorakan pengusiran Jepang. Namun, akhirnya dia jatuh sakit akibat dari siksaan biadab serdadu Jepang saat penjara, yang akhirnya Mahmud Marzuki meninggal dunia pada 5 Agustus 1946 di usia yang masih muda, yaitu 35 tahun.
Sudah hampir 4 tahunan ini, para pakar sejarah di Riau bersama Pemprov Riau mengajukan sejarah kelam Mahmud Marzuki untuk bisa mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Pusat sebagai pahlawan nasional.
“Kita sudah memberikan sejumlah dokumen terkait sejarah Marzuki ke pemerintah pusat. Tim dari pemerintah pusat juga sudah memverifikasinya. Semoga saja usulan kita ini bisa diterima,” tutup Prof. Suwardi yang juga panitia pengusulan dari daerah.
Semoga saja dengan upaya dari sahabat sejarawan di Kampar ini, maka upaya untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Tuan Mahmud Marzuki ini dapat dilegalisir oleh Negara.
Pusara Pahlawan Nasional Mahmud Marzuki tersebut, saat ini berada tepat di depan Sekolah Muhammadiyah di Desa Kumantan Bangkinang Kota Kabupaten Kampar Riau dan tak jauh dari makamnya tersebut nama beliau juga diabadikan sebagai nama jalan guna mengenang jasanya.
Beliau berpulang, sebelum sempat menikmati kemerdekaan bangsa ini. Mahmud Marzuki meninggalkan dua orang istri dengan 7 orang anak.
Penulis adalah Pemerhati Sejarah dari Sutanadil Institute
Bogor, 26 Januari 2022