Latar Belakang Keterpurukan Bangsa Indonesia



JIKA  saja kita tidak lupa rumus aksioma bahwa “Input akan menentukan output” atau niat akan menentukan perbuatan, atau sama dengan ilmu yang telah menjadi pola pikir akan menentukan pandangan dan sikap hidup seseorang, atau di dalam Al Kitaab disebut “al ‘ilmu imaamul ‘amal” yang artinya ilmu atau isi hati dan isi hati kepala seseorang akan menentukan tingkah laku seseorang, maka kita tidak akan pernah kesulitan untuk menentukan apa penyebab dari perilaku baik maupun buruk seseorang.

jika kita ingin mengetahui mengapa seseorang berperilaku baik ataupun buruk, berperilaku jahat atau baik, berperilaku arogan atau santun, atau seseorang yang berperilaku ingin selalu hidup mewah daripada sederhana, berperilaku lebih suka nyolong daripada nyokong, lebih suka korupsi daripada memberikan kontribusi, ini semua jika kita ingat bahwa input menentukan output maka menjadi jelas apa yang menjadi penyebabnya.

Begitu pula dengan sikap dan perilaku para pemimpin kita yang senantiasa cenderung bersikap buruk, arogan, individualis, borjuistis, memperkaya diri dengan segala cara dan semau gue, korupsi, kolusi, nepotisme dalam rangka kong kalikong untuk taktik dan strategi nyolong. Arogansi dan kebijakan-kebijakan yang sedemikian menjengkelkan, carut-marut, lebih mementingkan golongan atau partainya daripada bangsanya, lebih suka membela keyakinan idiologi komunitasnya daripada membela tanah air, bangsa dan negaranya. Ini semua tentu dan jelas disebabkan oleh ilmu yang carut marut tersebut, yang berada di dalam dirinya yang menjadi penyebabnya.

Jika rumus aksioma ini kita urai maka bukankah dengan demikian berarti ilmu pula yang menjadi sumber utama dan akar dari segala permasalahan di negeri kita ?

dari mana pula datangnya informasi atau ajaran yang kita dapatkan ?

Siapa pula yang menjadi guru dan mengajarkan ?

Tentu asalnya ilmu yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, berasal dari bangku sekolah pendidikan formal atau non formal yang ada di Indonesia.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah mungkin nilai ilmu yang ada dalam sistem pendidikan formal atau non formal kita adalah buruk ?

Dan apakah bernilai jahat, sehingga para pemeluknya senantiasa berkelakuan cenderung merugikan orang lain ?

Apakah bernilai individualis borjuistis sehingga kita cenderung mementingkan diri sendiri dan hidup mewah ?

Jangan-jangan memang nilai filosofis ilmu yang beredar di negeri ini adalah liberalis kapitalis dan dilegalisir oleh Demokrasi !

Oleh karena realitas membuktikan bahwa bangsa ini cenderung berkelakuan buruk dan jahat, maka tidak terlalu mengada-ada jika input menentukan output yaitu ilmu menentukan amal perbuatan, kita boleh dan harus mempertanyakan serta mencurigai nilai ilmu yang diserap oleh bangsa Indonesia ini.

Beranikan diri untuk mempertanyakan pula darimana asalnya ilmu yang beredar di Indonesia, dan siapa pula yang mengajarkannya. Ini semua terpaksa harus kita lakukan demi mencari jati diri bangsa Indonesia dan dalam rangka menemukan sumber permasalahan, yang menjadikan bangsa Indonesia semakin hari semakin mendekati jurang kehancuran di segala bidang yang sangat mengerikan saat ini.

Mari kita lacak sejarah mencatat bahwa di jaman sebelum datangnya bangsa-bangsa Eropa yakni bangsa Portugis dan bangsa Belanda, yang diperkirakan sekitar abad XVI Masehi, negeri ini belum mengenal dan belum mempunyai sistem pendidikan sebagaimana yang kita kenal seperti sekarang ini. Yang ada baru model pendidikan baru suatu model pendidikan ala pesantren dan yang semodel biara.

Jelaslah sudah, bahwa guru dan gurunya guru-guru kita yang mewarnai pola pikir bangsa Indonesia adalah mereka bangsa Eropa, yaitu bangsa Portugis dan bangsa Belanda.Celakanya, ternyata sejarah mencatat bahwa bangsa Eropa adalah penganut filosofi faham yang disebut “naturalisme makro atomisme”, yaitu suatu faham yang menghamba kepada alam, khususnya makro atom, atau atom/benda-benda yang besar-besar, yang beredar di jagad raya.

INDIVIDUALISME

Filosofi epistemologis tersebut adalah berasal dari hasil olah fikir seorang filsuf dan pujangga purba dari Yunani bernama Aneximandros yang mengulang teori lama, yang hidup dan meninggal sekitar abad ketiga sebelum masehi.

Ringkasnya, Aneximandros dengan mengamati benda-benda besar (makro atom) yang bertebaran di angkasa ciptaan dan kreasi Tuhan tersebut, kemudian menyimpulkan bahwa “hakikat kehidupan secara sendiri-sendiri, individu-individu seperti halnya bulan, bumi, matahari, dan planet-planet lain yang beredarpada garis edarnya masing-masing itu ternyata aman tidak pernah terjadi benturan antara satu dengan yang lain” disebut Individualis.

Teori hidup bermasyarakat hasil pengamatan Aneximandros adalah :

Jika manusia ingin hidup bermasyarakat dengan aman, maka hendaknya mencontoh pola hidup benda-benda besar di angkasa tersebut, yaitu hidup secara individu, sendiri-sendiri atau masing-masing.

Teori hidup secara individu-individu inilah kelak menjadi teori yang disebut Individualisme.

Teori Individualisme inilah yang kelak yang akan diusung ke Eropa dan menjadi pola pikir serta model hidup bermasyarakat bangsa Eropa.

Aneximandros tidak cermat dalam mengamati dan tidak mampu membedakan antara mahluk organis (berupa benda-benda itu) dengan mahluk biologis atau mahluk sosial budaya yang namanya manusia.

Akibatnya ketika teori hidup individualis ini diterapkan, yang terjadi adalah sebuah persaingan bebas antara individu atau persaingan bebas antar pribadi, sebagai akibat logisnya disebut liberalisme.

LIBERALISME

Adalah merupakan akibat lanjutan dari teori Individualisme, maka sejak saat inilah lahir apa yang disebut persaingan bebas antar individu, dimana kelak disebut sebagai teori Liberalisme.

Sebagai dampak yang lebih parah dari teori Individualisme Liberal ini adalah yang kuat memangsa yang lemah lalu di jadikan budak, diperjual belikan dst.

Dengan demikian maka berlakulah perbudakan manusia oleh manusia, atau penindasan manusia terhadap manusia oleh segelintir manusia yang berkuasa.

Hukum rimba ini berlaku bagi manusia budak atau manusia lemah, tidak saja bisa dieksploitasi sebagai alat produksi dan sebagai barang dagangan yang bisa diperjualbelikan saja, tetapi bagi budak yang berjenis kelamin wanita atau gadis boleh dan dengan leluasa dijadikan alat pemuas birahi sang majikan kapanpun sang majikan mau.

Anak yang lahir dari perempuan malang itu di sebut anak bajang, mereka tidak mendapatkan status kemanusiaan, karena lahir dari seorang ibu seorang budak yang statusnya sama dengan binatang ternak seperti onta, keledai, kuda dan lain-lainnya.

dari orang orang Bajang ini lah kelak muncul teori demokrasi.

Yang berarti demokrasi adalah teori anak haram yang lahir dari hasil pemerkosaan atas sang babu oleh majikan, maka kelak terbukti bahwa demokrasi adalah anak yang nakal dan sangat licik) terhadap kaum kaya/borjuis berkuasa yang notabene adalah gerombolan setan yang tidak lain adalah komunitas dari ayah tidak sah mereka sendiri.

Kapitalisme

Merupakan akibat kelanjutan dari teori Liberalisme, yaitu paham dan sebutan untuk orang-orang sukses dalam menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang kalah atau lemah untuk kepentingan pribadi, keluarga dan atau kelompoknya saja (kelompok inilah yang kelak menjadi lawan dari orang-orang yang yang berpaham komunisme).

Lanjutan dari teori hidup Individualis yang berkembang menjadi monster Kapitalis yang mengerikan bagi manusia yang lain ini, kemudian berkoalisi menjadi kumpulan manusia monster dan kemudian mengangkat satu di antara mereka yang paling kuat dan kaya menjadi raja monster yang paling ditakuti manusia lainnya. Seorang Raja Diraja inilah yang mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas di dalam negeri itu disebut The King dan wajib diataati sebagaimana taat kepada Tuhan, karena The King adalah penjelmaan Tuhan, karenanya The King disebut juga disebut “The Lord” atau Tuhan (lihat Raja Fir’aun).

Feodalisme

Adalah akibat lanjutan dari teori Kapitalisme, yaitu paham yang menganggap kekuasaan absolut beada di tangan Raja Diraja yang berkoalisi dengan kroni-kroni Kapitalisnya dan yang menjadi pejabat dan punggawanya tersebut berkembang dan berlaku sampai abad XVI masehi di Eropa termasuk Belanda dan masih tersisa sampai hari ini di beberapa negara lainnya.Kekuasaan absolut terhadap seluruh isi negara yang meliputi seluruh isi negara yang meliputi seluruh kekayaan alamnya, bumi dengan segala kandungannya, maupun segala yang bergerak di atasnya adalh milik raja. Dengan demikian, harta milik rakyat pun jika diinginkan oleh sang raja, tak dapat seorang pun menolaknya. Baca lebih lanjut.