Islam yang sangat ‘hidup’, yang tercermin melalui kemudahannya menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan di se-gala tempat pada segala zaman, serta kenyataan bahwa ia terus menyebar ke seluruh penjuru dunia, hanya dapat dipahami melalui ajarannya yang mendunia (universal) dan membawa perubahan mendasar (revolusioner). Ajaran dasarnya tentang kesatuan umat manusia, yang bersumber dari keesaan Allah, tak pernah berhenti mengilhami para reformer pejuang revolusi sejati dengan gagasan-gagasan dan kon-sep-konsep yang murni serta bermutu tinggi. [1] The Quran/An English Translation of the Meaning of the Quran, checked and revised by Mahmud Y. Zayid, hal. xii, cetakan pertama, Dar Al-Choura, Beirut, Lebanon, 1980
Penyebutan Al-Qurãn sebagai gagasan revolusioner tidak perlu menakutkan siapa pun, karena yang ditawarkannya adalah sesuatu yang menguntungkan manusia, alias rahmatan lil-’alamin.[2] Al-Anbiya’ ayat 106.
Surat Ali Imran ayat 103 mengisyaratkan demikian:
Wa’tashimuu bi hablillahi jamii’aw wa laa taffarraquu wadz kuruu ni’matallaahi ‘alaikum idz kuntum a’daa-an fa allafa baina quluubikum fa ashbahtum bi ni’matihii ikhwanaw wa kuntum ‘alaa sya-faa hufratim minan naari fa anqadzakum minhaa ka dzaalika yubayyinullaahu la-kum aayaatihii la’allakum tahtaduun
Berpegang-teguhlah kalian pada ‘ikatan hidup’ yang diajarkan Allah ini (Al-Qurãn), sehingga menjadi satu jama’ah; jangan (malah) berpecah-belah. Bangunlah kesadaran berdasarkan ni’mat (ajaran) Allah (yang dida’wahkan Rasul) kepada kalian. Dulu kalian (bangsa Arab) hidup saling bermusuhan; lalu (dengan Al-Qurãn) dia (Allah) menjinakkan (rasa permusuhan yang tumbuh) dalam jiwa kalian; sehingga dengan ni’matnya itu (rasa permusuhan kalian) berubah menjadi persaudaraan. Dengan kata lain, (ketika saling bermusuhan itu) kalian ibarat hidup di tepi jurang neraka, lalu dia (Allah) menyelamatkan kalian dari situ. Begitulah Allah menggambarkan kebenaran ayat-ayatnya (Al-Qurãn). Mudah-mudahan kalian menjadikannya petunjuk.
Peristiwa “revolusioner” yang disebutkan dalam ayat di atas adalah “perubahan drastis” bangsa Arab dari keadaan saling bermusuhan menjadi saling bersaudara. Rasanya cuma orang abnormal yang tidak menyukai revolusi semacam ini.
Tapi harap diingat kembali bahwa perubahan itu tidak terjadi secara mendadak. Semua diawali dengan kegiatan da’wah yang dilakukan Muhammad sedikitnya dalam waktu sekitar 23 tahun. Bila kita menganggap Penaklukan Makkah sebagai ukuran. Tapi peristiwa yang terjadi kira-kira pada tahun ke-8 Hijrah ini sebenarnya hanya puncak dari sebuah perjuangan yang panjang.
Neraka di Depan Mata Yang paling menarik dari ayat (Ali Imran 103) yang dikutip di atas adalah kalimat kuntum ‘alaa sya-faa hufratim minan naari , yang artinya : dulu (sebelum Allah menurunkan Al-Qurãn) kalian ada di ambang jurang neraka
Neraka yang dimaksud Allah dalam ayat ini jelas berbeda dengan neraka
yang biasa kita dengar dan baca, yang terletak di alam entah berentah,
yang hanya akan ditemui para pendosa setelah mereka mati. Nereka yang
disebut di sini, sesuai qarinah ayat adalah “neraka yang ada di depan
mata”
yang ibarat kobaran api dari satu peristiwa kebakaran, ia akan melahap
siapa saja bila tidak segera menjauh darinya. Karena ayat ini
menggambarkan keadaan bangsa Arab sebelum kedatangan Al-Qurãn, maka
jelas bahwa yang berhadapan dengan neraka tersebut adalah mereka.
Tapi bila pada saat itu ditanyakan kepada mereka tentang neraka
tersebut, yang sering kita bayangkan sebagai kobaran api, dapat
dipastikan bahwa mereka tidak akan mampu menjawab. Mereka tidak melihat
kobaran api (harfiah) itu!
Kata النار yang secara harfiah berarti api itu , makna istilahinnya mungkin hanya dikenal para mu’min; yang pada waktu itu tidak lain merupakan murid-murid Nabi Muhammad. Mungkin juga istilah itu memang sudah akrab di telinga bangsa Arab; namun pengertian mereka tentang istilah tersebut sama dengan pengertian kita sekarang, yaitu nama satu tempat di alam ghaib, yang dipenuhi kobaran api, tempat penyiksaan orang-orang berdosa.
Pengertian ini barangkali tidak bertentangan dengan Al-Qurãn secara
keseluruhan, namun hanya cocok dengan ayat-ayat tertentu dalam Al-Qurãn,
bila ada.
Yang jelas ayat ini menyebut istilah an-nãr (neraka) dalam konteks perumpamaan, bukan dalam arti hakiki.
Pengertian istilah ini dibangun oleh dua kata yang secara makna berkaiatan, yaitu kata lã tafarraqü/لا تفرّقوا (jangan kalian berpecah-belah) dan a’dã-an/اعداء (bermusuhan). Dengan kata lain, penyebutan neraka di sini agaknya sangat berkaitan dengan watak bangsa Arab sendiri.
Terpecahnya bangsa Arab menjadi berbagai suku yang saling bermusuhan
adalah cerita yang mashur. Namun penyebutan (tidak langsung) keadaan
tersebut sebagai faktor penyebab timbulnya “neraka” (dunia) agaknya baru
terda-pat dalam Al-Qurãn, khususnya dalam ayat tersebut. Tapi bukankah
kita sendiri sering mengatakan situasi demikian itu sebagai api di dalam
sekam?
Istilah api di dalam sekam ini agaknya lahir dari masyarakat petani. Sehabis menumbuk padi, kulit-kulit padi yang disebut sekam itu disapu, dikumpulkan, lalu dibakar. Bakaran pertama yang meninggalkan bara, ditimbun lagi dengan sekam-sekam baru. Tapi meski ditimbun dengan sekam-sekam baru sampai tidak kelihatan, bara api itu terus menyala, perlahan-lahan merembet ke atas, dan bila tertiup angin nyalanya kembali berkobar. Begitulah api dalam sekam! Begitu pula perpecahan dan permusuhan; yang sewaktu-waktu bisa mengobarkan api peperangan.
Kenyataannya, seperti telah disinggung di depan, bangsa Arab pernah mengalami perang saudara yang sangat menyengsarakan, yang kebetulan di dalamnya Muhammad sendiri terlibat, meski konon hanya sebagai pengumpul anak panah yang berceceran, sebagaimana lazim dilakukan para pemuda remaja bangsanya dalam setiap perang.
Dampak dari sebuah perang adalah neraka yang nyata. Manusia saling
membunuh. Kadang pembunuhan dilakukan juga atas orang-orang yang tak
berdaya seperti para jompo dan anak-anak. Tak jarang tindak perkosaan
pun menjadi ‘hiasan’ sebuah perang. Rumah-rumah tidak hanya dijarah,
tapi juga dibakar. Kampung dan kota dijadikan lautan api. Lingkungan
hidup ru-sak binasa. Manusia-manusia yang tertinggal terpaksa harus
hidup dengan serba kemelaratan.
Dengan demikian, jelaslah apa sebabnya Allah menyebut situasi perpecahan
dan permusuhan sebagai situasi “di ambang jurang neraka”.
Kemudian, kebalikan dari perpecahan dan permusuhan adalah ihwãnan/ إخوانا (persaudaraan); sehingga dapat disimpulkan pula bahwa kehidupan saling bersaudara adalah kehidupan “sorga”.
Ditegaskan dalam ayat tersebut bahwa persaudaraan itu timbul karena
Allah melalui Al-Qurãn ‘menjinakkan’ hati mereka (bangsa Arab). Tentu
tidak otomatis, tapi berproses, dan melibatkan peran aktif mereka pula.
Jelasnya, Aisyah memberikan gambaran demikian:
إنما أول ما نزل منه سورة من المفصّل فيها ذِكر الجنة و النار حتى إذا أثاب
الناس إلي الإسلام نزل الحلال والحرام. ولو نزل أول شيئ “لاتشربوا الخمر”
لقالوا “لا ندع الخمر أبدا” و لو نزل “لا تزنوا” لقالوا “لا ندع الزنى
أبدا”. (رواه البخارى)
Sebenarnya (setahu saya) yang pertama-tama turun darinya (Quran) adalah Surat-surat[3] سورة adalah kata benda tunggal, tapi di sini bermakna jamak, karena dihubungkan dengan kata من المفصّل yang menyatakan arti “kelompok”, yaitu kelompok ayat-ayat yang bersifat menjelaskan sesuatu secara gamblang.
Mufashshil (menjelaskan secara rinci), yang di dalamnya terdapat
penyebutan (secara rinci) “sorga” dan “neraka”. Baru setelah orang-orang
menyambut da’wah Islam, turun (ayat-ayat tentang) “halal” dan “haram”.
Kalau saja yang pertama kali turun (adalah ayat lara-ngan) “janganlah
kalian meminum khamr”, pasti waktu itu mereka (orang Arab Makkah)
menjawan (dengan) “kami tidak akan meninggalkan khamr selamanya”. Atau
seandainya yang turun (itu) “jangan kalian ber-zina”, pasti waktu itu
mereka menjawab “kami tak akan meninggalkan zina selamanya”.
Hadis ini, selain menegaskan tentang jenis ayat-ayat yang turun pada
awal kerasulan Muhammad, juga menegaskan kebiasaan mereka mabuk-mabukan
dan berzina (free-sex), yang sudah pasti sangat berpengaruh pada
terbentuknya situasi kehidupan yang bagai neraka. Melalui Hadis ini juga
tersirat gambaran tentang jiwa bangsa Arab yang keras kepala, sekaligus
bagaimana cara ‘menjinakkan’ mereka, yaitu dengan ayat-ayat mufashshil
yang menjelaskan tentang sorga dan neraka; yang lagi-lagi bukan sorga
dan neraka di alam entah berentah, tapi yang ada “di depan mata mereka”.
Neraka itu adalah kenyataan hidup yang serba tidak mengenakkan bagi
para korban perpecahan, permusuhan, minuman keras, dan perzinaan.
Sedangkan sorga adalah kebalikan dari itu. Penerangan yang kena secara
jitu, menyebabkan kekerasan (sebagian) mereka menjadi lunak, sehingga
ak-hirnya persaudaraan (“sorga”) pun bisa ditegakkan.