Bag. 2
Oleh : HG Sutan Adil
Sebagaimana telah di tulis di bagian sebelumnya, bahwa Mahmud Marzuki adalah putra asli Kampar yang berpendidikan cukup tinggi dimasanya dan juga seorang tokoh masyarakat yang dihormati, dan dalam kesempatan beliau ada di ranah minang, beliau sempat bertemu tokoh tokoh Muhammadiyah lainnya seperti ; Buya Hamka, Buya Alimin, Buya Rasyid dan banyak lagi yang juga memberi semangat beliau untuk terus berjuang dari pendudukan kolonial.
Selama peralihan penjahan Belanda ke Jepang dalam perang dunia ke II, kondisi masyarakat di Kampar di bawah tekanan. Awalnya kehadiran Jepang disambut hangat karena dianggap sebagai penyelamat dari jajahan Belanda.
Dilanjukan ceritanya Oleh Bang Dino Aritaba bahwa, Saat itu Marzuki dipanggil dari Payakumbuh untuk menjadi anggota Su Sangi Kai (sejenis Parlemen) tingkat Provinsi dari masyarakat Kampar. Badan badan ini beranggotakan 200 orang Ulama dan berkantor di Pekanbaru. Sebagai mewakili ulama dari daaerah Limo Koto, selanjutnya Ninik-Mamak menunjuk Mahmud Marzuki untuk memimpinnya, saat penjajahan Jepang itu.
Sejumlah tokoh alim ulama di Lima Koto Kampar, ditangkap dan ditahan Jepang. Alasannya karena alim ulama dianggap menentang keberadaan tentara Jepang. Untuk itulah akhirnya Marzuki dan tokoh lainnya kala itu, menyemangatkan untuk melawan Jepang dengan sebutan sebagai kafir. Selanjutnya gerakan yang mereka lalukan adalah memboikot beberapa hasil panen padi. Warga diminta untuk tidak menyerahkan seluruh hasil panennya. Usaha yang dilakukan berjalan dengan baik, padi yang diberikan ke Jepang sebagian diisi dengan gabah.
Pada 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Namun, saat itu kabar kemerdekaan tidak langsung diterima masyarakat di daerah, termasuk di Kabupaten Kampar, Riau. Pada 5 September 1945, berita proklamasi tersiar di Air Tiris (Kampar) lewat tempelan pamplet yang ditempelkan orang yang datang dari Bukittinggi. Adanya pamplet itu mendorong Mahmud Marzuki dan tokoh lainnya, Muhamad Amin, pergi mengecek atau mencari informasi kebenaran cerita itu.
Kedua tokoh masyarakat itu pergi ke Botok, Kepala Kantor Pos dan Telegraf Bangkinang. Rupanya Botok benar telah mendapat berita kemerdekaan tetapi dia tak berani untuk menyebar luaskan karena takut ancaman Jepang.
Diduga teks proklamasi itu ditempelkan oleh petugas dari Sumatera Barat yang mulai menyebarkan teks tersebut setelah menerima berita resmi dari TM Hasan dan Dr M Amin selaku anggota PPKI dari Jakarta. Mereka datang ke Bukittinggi membawa teks proklamasi tersebut.
Pada 6 September 1945, bertepatan Hari Raya Idul Fitri dilaksanakan sholat Idul Fitri (lapangan tengah sawah Simpang Kubu, Air Tiris), Marzuki kala itu menyampaikan khotbah bergelora di hadapan masyarakat. Saat menutup khotbahnya Mahmud Marzuki menyampaikan kepastian kemerdekaan yang telah dibacakan Bung Karno dan Hatta. Rakyat diminta bersedia berkorban mempertahankan kemerdekaan.
Melanjutkan ceritanya, Bang Dino Aritaba mengatakan akhirnya bahwa pada Senin 11 September 1945, Marzuki mengajak seluruh masyarakat berkumpul di lapangan Controleur depan Kantor Demang Bangkinang untuk menggelar upacara kemerdekaan. Kabar ini terdengar oleh Jepang yang selanjutnya bala tentaranya dikerahkan di lapangan Controleur tersebut yang kini bernama Lapangan Merdeka itu.
Di hadapan 2.600 warga, Ribuan Pasukan Sekutu/Belanda dan Ribuan Pasukan Jepang, Mahmud Marzuki pidato yang berapi-api, inilah Singa Podium sesungguhnya, mengajak agar seluruh rakyat terutama yang hadir bertekad mempertahankan Merah Putih tetap di tiangnya dan mengancam para penjajah kolonial yg saat itu hadir untuk menurunkannya.
Kemudian, dua orang remaja datang ke Mahmud Marzuki menyerahkan bendera merah putih. Dengan beraninya Mahmud Marzuki membawa bendera itu di tiang. Saat akan dikibarkan hujan mengguyur deras. Sebagian warga mencari tempat berteduh.
Selaku pemimpin upacara Mahmud Marzuki tetap di tempat walau hujan deras hingga bendera naik sampai ke puncak tiang. Pasukan Belanda dan Jepang kala itu sama-sama berada di tempat. Mereka hanya terdiam dan terpukau menyaksikan para pemuda tersebut dengan semangat mengibarkan bendera merah putih walaupun disaat hujan lebat. Pasukan Belanda dan Jepang yang hadir di sana tidak bisa bertindak lebih jauh atas pengibaran merah putih, karena mereka masih dalam kondisi stustus quo akibat adanya perjanjian di perang dunia ke dua saat itu, tapi justru merasa kagum dan salut melihat persatuan penduduk di bawah kepimpinan Mahmud Marzuki.
Singa Podium adalah julukan yg diberikan kepada Mahmud Marzuki, karena disetiap pidato maupun ceramah agamanya, selalu dibanjiri masyarakat yang datang dan selalu terpukau atas keberanian serta kehebatannya dalam berpidato dan berceramah, demikian ungkap Bang Dino Aritaba mengakhiri pembicaraan. (Bersambung)
Penulis Adalah Pemerhati Sejarah dari Sutanadil Institute
Bogor, 25 Januari 2022